Jumat, 03/12/2010 14:38 WIBRUU Keistimewaan DIYBurhanuddin Muhtadi: Strategi Canggih SBY dengan Melempar Bola Lewat Anak Buah Nurvita Indarini - detikNews
"Sikap pemerintah jangka panjang dinyatakan oleh Mendagri dan Menkopolhukam. Ini strategi canggih untuk melempar bola panas melalui anak buah. SBY membuat center of attraction tidak lagi di dirinya tapi di Mendagri dan Djoko Suyanto. Anak buah bersama DPR yang kemudian membawa bola panas," tutur pengamat politik Burhanuddin Muhtadi.
Berikut ini wawancara detikcom dengan Manager Public Affairs Lembaga Survei Indonesia (LSI) ini, Jumat (3/12/2010):
Pidato SBY kemarin upaya menenangkan semua pihak?
Pidato SBY kemarin itu sangat normatif dan mencari aman. SBY mencoba menurunkan tensi ketegangan pasca pernyatan 26 November lalu yang terkesan membenturkan monarki dan demokrasi. Dia kemarin mencoba menyenangkan semua pihak dengan mengambangkan sikap politik terkait RUU Keistimewaan Yogya. Dalam pidato dia membedakan sikap personal dan pemerintah.
Secara personal, dia setuju kepala pemerintahan ditetapkan, tapi di sisi lain menunggu kesepakan pemerintah via Kemendagri dan DPR. Pesan Djoko Suyanto (Menkopolkam) lebih clear di mana ingin mencari alternatif dengan menempatkan raja sebagai kepala daerah, tapi kepala pemerintahannya dipilih. SBY mengambangkan itu dan mempersilakan anak buahnya bersikap lebih tegas sebelum (draf) dinaikkan ke DPR.
Makna di balik pernyataan SBY bahwa yang terbaik 5 tahun ke depan masih Sultan?
Sikap pemerintah jangka panjang dinyatakan oleh Mendagri dan Menkopolhukam. Ini strategi canggih untuk melempar bola panas melalui anak buah. SBY membuat center of attraction tidak lagi di dirinya tapi di Mendagri dan Djoko Suyanto. Anak buah bersama DPR yang kemudian membawa bola panas.
SBY ingin cari aman. Seharusnya ini dilakukan sejak awal kalau mau cari aman, tapi sekarang nasi sudah menjadi bubur. Kemarin dia mencoba mengambangkan dengan mengajukan anak buahnya membawa kontroversi ke DPR.
Rapat paripurna yang menyatakan bahwa kepala pemerintahan DIY dengan pemilihan akan mencederai perasaan warga Yogya?
Warga Yogya itu bukan hanya mereka yang aktif turun ke jalan. Kalau untuk mengukur seperti apa ya pakai referendum. Saya tidak yakin semua masyarakat Yogya itu pro penetapan. Karena ada juga yang pro pemilihan tetapi tenggelam oleh opini publik yang aktif menggulirkan penetapan.
Kalau bagi yang pro penetapan, tentu ini mencederai perasaan mereka. Tapi bagi yang pro pemilihan tentu tidak. Tergantung siapa yang melihat. Namun apapun keputusannya, harus betul-betul mengakomodasi aspirasi yang ada. Diambil jalan tengah yang win-win solution, saling menjaga perasaan dan memenangkan hati seluruhnya.
Hasil rapat paripurna ini sudah win-win solution?
Dilihat secara jernih, usulan RUU ini mengakomodasi sebagian besar ide tim UGM. Kalau
kita baca monograf UGM dengan RUU pemerintah, sebagian besar sama. Saya pribadi setuju dengan ini, ini jalan tengah yang baik.
Tapi kritik saya, kalau Sultan dan Paku Alam diletakkan di atas dan punya kemampuan untuk memveto, dikhawatirkan kalau veto dilakukan secara overdosis maka kinerja pemerintah jadi sering terganggu. Karena itu veto harus digunakan sesuai kadar.
Selain itu kalau misalnya Sultan ditempatkan sebagai Parardhya maka kehilangan hak
politik. Ini mencederai hak Sultan, karena nggak bisa maju dalam pemilihan meskipun punya kewenangan simbolik luar biasa.
Dalam pidato, SBY mengingatkan bahwa Sultan pernah ingin mundur dari gubernur?
Ini bahasa yang sangat halus yang ingin digiringkan SBY bahwa Sultan sebagai gubernur karena kebesaran hati SBY yang bersedia memperpanjang (jabatan gubernur). Ini pesan yang sangat halus kepada Sultan dan masyarakat Yogya, bahwa SBY sangat perhatian dan berbesar hati dengan perpanjangan kepada Sultan. SBY memperpanjang sampai RUU kelar.
Bisa dimaknai 'jangan macam-macam karena ada utang budi'. Dan mungkin pesan ini sampai.
Pemberian Satyalancana Pembangunan di Bidang Pendidikan dan Penghargaan Ketahanan Pangan untuk Sultan oleh SBY bisa dimaknai apa?
Lagi-lagi pidato kemarin khas SBY untuk membalik keadaan yang awalnya menyudutkan dirinya. Apa yang disampaikan SBY pada 26 November lalu merupakan strategi politik yang salah. Pidato yang disampaikan kemarin mengambang, normatif, tidak jelas. Lalu malamnya diikuti penyematan penghargaan bagi Sultan. Ini tipikal SBY untuk menggaet simpati bukan hanya Sultan tapi juga masyarakat Yogya, sehingga momentum disesuaikan.
Bisa dilihat seperti tawaran Ketua Komisi Kejaksaan untuk Bambang Widjojanto dan menempatkan beberapa mantan menteri kabinet sebelumnya yang ditempatkan di wantimpres?
Ini khas politisi Jawa, ingin menekankan politik harmoni. Jadi pepatah Inggrisnya, keep your friend close but your enemy closer. Bahasa politik diplomasinya, million friends and zero enemy. Ingin memperbanyak kawan dan mengurangi semaksimal mungkin musuh dengan memberi kompensasi politik berupa jabatan sehingga potensial musuh lunak sifatnya.
Ini saya kritik karena terkesan bagi-bagi kekuasaan. Kalau pada kasus Bambang Widjojanto, kalau dia menerima tawaran itu maka tidak etis karena dia sebelumnya ikut panitia seleksi Komisi Kejaksaan. Gaya ini sering dipakai SBY untuk melunakkan lawan-lawan politiknya. (vit/nrl)
No comments:
Post a Comment
Kami mengundang anda untuk memberikan komentar terhadap artikel yang ada di blog ini termasuk kritikan dan saran dengan syarat tidak menyinggyng masalah suku,agama dan ras tertentu.
Konten dalam komentar bukan menjadi tanggungjawab admin
Salam