OLEH ; DIDI KURNIAWAN
Dermaga itu tampak sunyi dari kejauhan. Hanya beberapa orang dan beberapa nelayan saja terlihat beraktivitas. Sebuah perahu jenis speed boat terlihat bersandar di tambatan perahu. Sementara beberapa perahu kecil nelayan dibiarkan begitu saja di pinggir dermaga.
Beberapa orang lelaki kekar tampak duduk-duduk menunggu sesuatu di sebuah rumah apung yang juga difungsikan sebagai warung. Rumah tersebut tampak menonjol sebagai satu-satunya bangunan paling menjorok di Dermaga Matabubu, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ketika kami datang menyapa, para lelaki itu menyambut dengan hangat dan ramah.
“Silakan pak, mari duduk sini…”
Sebuah keramahan yang ditunjukkan para awak speed boat kayu yang saat itu sedang menunggu penumpang. Adi, sang pemilik perahu itu, kemudian menjadi teman mengobrol yang menyenangkan saat kami menikmati pagi di dermaga kecil itu.
“Jadwal speed kami sudah tetap, jam sembilan pagi berangkat dari sini ke Latawe,” cerita Adi.
Latawe adalah sebuah desa di Kabupaten Muna, sebuah kepulauan di bagian selatan Sulawesi Tenggara. Kebanyakan perahu jenis speed maupun jenis katinting (perahu sampan bermesin tunggal), memang melayani rute penyeberangan ke desa-desa di wilayah Muna, seperti Lakudo, Lawa dan Lahorio. Sementara beberapa katinting juga hilir mudik mengangkut penumpang ke arah desa Polewali maupun desa Bangun Jaya, yang masih dalam satu wilayah kecamatan Lainea.
“Penumpang kami datang dengan Damri dari Kendari, kami sudah dikontrak Damri untuk angkut penumpang ke Latawe, di sana ada juga Damri yang siap jemput,” tutur Adi.
Hmm, hebat juga ini Damri, pikir saya, hingga pelosok daerah begini mereka layani juga. Menurut Adi, ongkos tiap penumpang dari Kendari hingga Latawe adalah Rp. 100.000,-. Adi dan kru speed boat hanya terima bersih dari pihak Damri tanpa harus menarik tiket lagi.
“Timur Lakudo Ekpress”, demikian nama speed boat Adi. Ia memiliki tiga orang awak yang selalu membantunya. Speed boat itu berkapasitas 20-an orang.
“Pernah terisi sekitar seratus orang saat lebaran…” katanya.
Seratus orang?! Bagaimana bisa? Nekat betul jika Adi berkata benar. Keselamatan penumpang menjadi taruhannya. Namun, Adi menjelaskan ada asuransi Jasa Raharja bagi penumpang yang memiliki tiket resmi.
Boleh jadi Adi terbilang enak mendapatkan penumpang, karena ia sudah disediakan pihak Damri. Tapi untuk beberapa waktu mendatang tampaknya Adi bakalan rela kehilangan kontrak. Ia menunjuk ke sebuah rumah di sisi timur dermaga, di tempat itulah sedang dirakit speed boat yang ukurannya lebih besar dibandingkan miliknya.
“Kalau sudah jadi, speed baru itu yang dikontrak Damri,” jelasnya.
Lho kok? Begitukah cara kerja perusahaan sekelas Damri? Main putus kontrak saja ketika dapat mitra yang lebih bagus. Ternyata saat meninggalkan dermaga itu saya baru ngeh alias paham.
“Damri itu istilah orang sini untuk menyebut bis, sembarang bis disebut Damri…” itulah penjelasan rekan saya.
Oalah… pantas saja, saya belum pernah melihat wujud bis Damri yang saya bayangkan seperti di Jakarta lalu lalang di daerah itu. Hanya bis biasa berukuran tanggung dengan body reyot penuh barang dan penumpang yang beberapa kali saya lihat. Rupanya yang demikian itu disebut juga sebagai “Damri”
Sumber : Kompasiana.com
No comments:
Post a Comment
Kami mengundang anda untuk memberikan komentar terhadap artikel yang ada di blog ini termasuk kritikan dan saran dengan syarat tidak menyinggyng masalah suku,agama dan ras tertentu.
Konten dalam komentar bukan menjadi tanggungjawab admin
Salam