Mataharinews.com, Kulisusu - Sejak terbentuknya tanggal
27 Juli 2007 melalui Undang-undang No 14 tahun 2007 sampai saat ini
penempatan Ibu Kota Kabupaten Buton Utara (Butur )Propinsi Sulawesi
Tengara terus saja menjadi Polemik.
UU No 14 secara tegas menyatakan bahwa Ibu Kota Butur terletak di Buranga,
namun oleh Pjs Bupati saat itu Kasim, SH malah berkantor dan memulai
membangun infrastutur pemerintahan daerah di Kecamatan Kulisusu Ereke.
Sejak saat itulah polemik mengenai Ibu Kota berkembang. Polemik semakin tajam dan panas ketika terpilih Bupati devinitif melalui pilkada tahun 2010. Bupati Butur terpilih Ridwan Zakaria justeru menunjukan keinginannya menjadikan Erekae sebagai Ibu Kota dengan membangun seluruh perkantoran di Ereke termasuk Kantor Bupati dan Gedung DPRD.
Sikap Ridwan tersebut sontak membuat marah sebagian masyarakat Butur. Mereka
menganggap Bupati Ridwan Zakaria telah melakukan pelanggaran terhadap
UU. Olehnya itu mereka terus mendesak Ridwan untuk berkantor dan
membangun segala infrastruktur pemerintahan di Buranga sebagai mana diatur dalam UU No. 14.
Puncak dari kemarahan masyarakat yang mendukung Buranga sebagai Ibu Kota
sebagai mana diatur dalam UU No 14, adalah melakukan pembakaran
terhadap kantor Bupati dan Gedung DPRD di Ereke pertengahan 2011 lalu.
Insiden pembakaran kantor Bupati dan gedung DPRD oleh massa rakyat tersebut
tak membuat Ridwan Zakaria bergeming. Bahkan dia dan jajaran justeru
melakukan perlawanan dengan melakukan Uji materiil terhadap UU No. 14
khususnya pasal 7 Tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara ke Mahkama Konstitusi.
Gayunpun bersambut, MK kemudian menggelar sidang pertama pada tanggal 29 Januari 2012 terhadap gugatan Bupati Butur tersebut. Pada siding pertama itu MK mengeluarkan putusan sela yang amarnya mengembalikan berkas gugatan dan memerintahkan penggugat untuk memperbaik gugatannya karena dianggap belum lengkap.
Tenggang waktu yang diberikan oleh MK untuk memperbaiki gugatannya adalah
empat belas hari. Apabila dalam tenggan waktu yang diberikan gugatan
belum juga diperbaiki maka gugatan tersebut dinyatakan ditolak.
Ramadhan, salah seorang masyarakat Buton Utara menilai, yudisia revew terhadap UU No.14 yang dilakukan oleh Bupati merupakan penghianatan terhadap undang-undang dan aspirasi masyarakat Buton Utara.
Menurut Ramadhan, seharusnya Ridwan Zakaria begitu dilantik menjadi Bupati
langsung berkantor di Buranga dan mengarahkan pembangunan perkantoran
untuk pelayanan administrasi masyarakat juga di Buranga.
Tapi faktanya, Bupati justeru membangun perkantoran dan perumahan dinas
pejabat di Ereke. Dengan demikian berarti Bupati sengaja memancing
kemarahan rakyat. Jadi kalau nantinya terjadi kembali amukmassa, maka
yang harus bertanggungjawab adalah Bupati.
Ramadhan juga mendesak aparat kepolisian dan kejaksaan untuk memeriksa Ridwan dalam pelanggaran UU dan dugaan penyalahguanaan jabatan karena memindahkan ibukota kabuaten dengan melabrak aturan. Ketua Komisi A DPRD Butur Muliadin Salenda, ketika dimintai komentarnya mengenai dibangunya semua infrastruktur pemerintahan di Ereke ( 7/3 ) mengatakan, sampai saat ini DPRD tetap menganggap Buranga sebagai Ibu
Kota. Olehnya itu seharusnya Bupati seharusnya membangun semua
infrastruktur pemerintahan untuk melakukan pelayanan terhadap
masyarakat di arahkan ke Buranga sebagai Ibu Kota.
Namun kalau Bupati membangun fasilitas pemerintahan seperti perkantoran dan lain-lain di Ereke, itu menjadi domain dan kewenangan pemerintah. DPRD lanjut Muliadin, hanya sebatas melakuan pengawasan terhadap penggunaan anggarannya.
Hal yang sama dikatakan anggota komisi A lainya, La Ode Sarfan. Menurutnya DPRD Butur taat asas dengan tetap mengakui Buranga sebagai Ibu Kota. Arfan menjelaskan, dalam urusan penempatan Ibu Kota Butur sebenarnya yang memulai polemik ini adalah DPR-RI.
Pada waktu pengusulan pembentukan kabupaten Buon Utara melalui Surat Keputusan DPRD Muna No 07/DPRD-Muna/2006,calon Ibu Kota adalah Ereke. Namun setelah menjadi UU Ibu Kota malah Buranga.
“ Saya adalah salah
seorang anggota DPRD Muna yang menandatangani SK 07 yang mengusulkan
Ereka sebagai Ibu Kota ” tegas mantan anggota DPRD Muna 2004-2009, yang
kemudian pindah ke Butur setelah kabupaten itu terbentuk.
Namun demikian lanjutnya, setelah UU menegaskan
Buranga sebagai Ibukota, maka sebagai anggota DPRD Butur, dirinya tetap
tunduk dan patuh terhadap UU tersebut dengan mengakui Buranga sebagai
Ibu Kota Butur.
Asisten I Bidang Pemerintahan Kabupaten Buton Utara Zaitu Ampo,SE, ketika
ditanyakan mengapa pembangunan perkantoran di tempatkan di Ereka bukan
di Buranga sebagai Ibu Kota,mengatakan untuk urusan itu silakan tanya
langsung ke Bupati. Sepengtahuannya yang memerintahan membangun
perantoran di Ereke adalah Bupati “ Untuk urusan itu silaan tanyakan
langsung pada Bupati, termasuk Bupati yang lama, karena
beliau-beliaulah yang memerintahkan pembangunan perkantoran di Ereke “ ujarnya sambil terburu-buru menuju mobilnya karena hendak mengikuti rapat dengan DPRD.
Sementara itu Bupati Buton Utara, Ridwan Zakaria ketika hendak dikonfirmasi enggan menemui wartawan. Menurut Kabag Humas Pemkab Butur,
Nadji, S.Sos ( 8/3), Bupati sedang sibuk karena baru pulang dari umroh.
“ Untuk menjawab pertanyaan wartawan, bupati telah mendelegasikan pada
saya” tegas Nadji.
Namun ketika ditanya mengenai apa yang menjadi alasan Pemkab Butur menempatkan
perkantoran di ereke, bukan di Buranga sebagai Ibu Kota, Nadji menjawab
tidak tahu. Demiian ketiaka ditanyakan hal yang lainnya seperti apa
yang menjadi alas hukum gugatan Yudisial revew yang
diajukan Pemkab Butur ke MK Nadji Juga mengaku tidak tahu “ Karena Bupati mengarahkan saya untuk menjawab seadanya saja, ya saya jawab tidak tahu karena memang saya tidak tahu “ tutup Nadji. ( MA )
No comments:
Post a Comment
Kami mengundang anda untuk memberikan komentar terhadap artikel yang ada di blog ini termasuk kritikan dan saran dengan syarat tidak menyinggyng masalah suku,agama dan ras tertentu.
Konten dalam komentar bukan menjadi tanggungjawab admin
Salam