SYARIFUDDIN UDU SOLUSI UNTUK MUNA 2020-2025

SYARIFUDDIN UDU SOLUSI UNTUK MUNA 2020-2025

09 May 2011

MENGENAL DAN MEMAHAMI NILAI-NILAI SOWITE


Kerajaan Muna masa lampau walaupun masih tergolong kerajan tradisional, namun ternyata masyarakat dan Raja-rajanya telah memiliki jiwa Nasionalisme dan wawasan kebangsanaan yang cukup tinggi. Jiwa cinta tanah air dan rela berkorban untuk membela kedaulatan negara telah tertanam dalam diri rakyat Muna sejak Sugi Manuru ( 1428 ) Raja Muna VI  mengajarkan falsafa dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang dikenal dengan falsafa SOWITE ( Cinta Tanah Air ). Falsafa Sowite tersebut kemudian diuaraikan dalan tiga nilai- nilai  dasar  yaitu
1.  Hansuru-hansuru bahda Sumano Kono Hansuru Liwu ( Rela berkorban demi kedaulatan bangsa dan Negara)
2.  Hansuru-hansuru Liwu Sumano Kono Hansuru Adhati ( Walaupun negara hancur Nilai adat harus tetap dipertahankan)
3.  Hansuru-hansuru  Adhati Sumano Tangka Agama. ( Bila Nilai adat sudah tidak bisa dipertahankan, maka nilai-nilai agama harus tetap kuat dan menjadi pedoman )
Ketiga nilai dasar tersebut wajib diamalkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh warga Kerajaan Muna baik dia berada di wilayah Kerajaan Muna maupun berada diwilayah lain. Kemerdekaan dalam arti yang luas bagi masyarakat Muna menjadi hal yang mutlak  untuk diperjuangka sehinga kalau ada pihak lain yang mencoba untuk menggangu maka tidak segan-segan masyaraat Muna akan melawannya..
Kemerdekaan yang dmaksud warga masyarakat Muna bukanlah saja kemerdekaan pribadinya tetapi lebih bertitik tolak pada kemerdekaan yang universal dalam hal ini  juga termasuk kemerdekaan dan kedaulatan Kerajaan-kerajaan tetangga. Hal ini telah perlihatkan  oleh Raja Muna VII La Kilaponto yang tiddak segan-segan melawan La Bolontio tokoh bajak laut bermata satu yang telah memporak porandakan kerajan-kerajaan tetanga Kerajaan Muna seperti Kerajaan Selayar, Kerajaan Konawe dan Kerajaan Buton. Demi membela keerdekaan dan kedaulatan Kerajan-Kerajaan tetanganya tersebut, Raja La Kilaponto menyatakan perang terhadap La Bolontio yang kemudian berhasil di kalahkannya bahkan sampai membnuhnya disekitar Pantai Boneatiro  Yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Kapontori Kabupaten Buton.
Tidak sampai disitu, setelah La Kilaponto  berhasil membunuh La Bolontio, kemudian dilanjutkan  mengejar  sisa-sisa pasukannya yang masih berada di Selayar dan Kerajaan Konawe. Setelah seluruh Pasukan La Bolontio benar benar habis maka La Kilaponto kemudian melakukan penataan pemerintahan pada kerajaan-kerajaan tersebut sampai benar-benar stabil. Karena jasa-jasanya tersebut, maka oleh asyarakat dan tokon adat setempat menobatkannya sebagai Raja pada kerajaan dimaksud. Olehnya itu La Kilaponto Raja Muna VII dikenal sebagai Raja yang mepersatukan seluruh Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Muna, Kerajaan Buton, Kerajaan Konawe, Kerajaan Kaledupa dan Kerajaan Kabaena.
Pada Kerajaan-Kerajaan yang menobatkanya sebagai Raja tersebut, La Kilaponto diberi gelar Kehormatan seperti di Kerajan Konawe ia dianugrahi Gelar La Tolaki ( Menjadi Laki-laki/Raja) atau Haluoleo ( Delapan hari ). Dibuton La Kilaponto dianugrahi gelar Timba-Timbanga ( orang yang menetapkan hukum/orang yang adil) / Sultan Kaimuddin Khalifaul Khamis/ Murhum. Dua gelar terakhir dianugrahi setelah beliau berhasil menjadikan Kerajaan Buton menjadi Kesultanan dan La Kilaponto dinobatkan sebagai Sultan I. Sedangkan di Muna ia digelar dengan Omputon Mepokonduaghono Ghoera artinya Raja yang menggabungkan wilayah.negara.
 Kendatipun La Kilaponto telah di nobatkan sebagai Raja pada kerajaan-kerajaan yang diselamatkan dari kehancuran tersebut beliau tidak berusaha untuk menguasainya, bahkan ketika kerajaan-kerajaan tersebut dianggap telah mampu menjalankan pemerintahannya sendiri maka jabatan raja pada kerajaan tersebut diserahkan pada yang berhak. Sikap La Kilaponto tersebut merupakan cerminan dari ajaran yang ditanamkan oleh ayahandanya Raja Muna VI Sugi manuru yaitu ; poangka-angka tao, Poadha-adhati, Popiara-piara dan pobini-biniti kuli” artinya saling tepa selira, saling menghargai, saling memelihara dan saling tenggang rasa.
Setelah dilantik menjadi Raja Buton dan menjadikan Kerajaan itu sebagai kesultanan, nilai-nilai yang dijarkan oleh ayahandanya seperti tersebut diatas kemudian diajarkan dan disebarluaskan dikerajaan itu.  Pada pemerintahan Sultan Buton IV Dayanu Ikhsanuddin nilai-nilai yang disebarluaskan oleh La Kilaponto tersbut diadopsi dalam Konstitusi Kesultanan Buton yang dikenal dengan “Martabat Tujuh”. Karena Konstitusi tersebut merupakan konstitusi KerajaanIslam, maka nilai-nilai dasar tersebut dielaborasi dengan nilai-nila Islam.
                                                                                                                        

No comments:

Post a Comment

Kami mengundang anda untuk memberikan komentar terhadap artikel yang ada di blog ini termasuk kritikan dan saran dengan syarat tidak menyinggyng masalah suku,agama dan ras tertentu.
Konten dalam komentar bukan menjadi tanggungjawab admin
Salam

Baca juga :

Korte Verklering Antara Belanda dan Buton 8 April 1906

Berikut kami postkan Korte Verklering tanggal 8 April 1906 yang ditanda tangani oleh  Sultan Buton Muhammad Asyikin dan perwakilan Pem...