Kerajaan
Muna masa lampau walaupun masih tergolong kerajan tradisional, namun ternyata
masyarakat dan Raja-rajanya telah memiliki jiwa Nasionalisme dan wawasan
kebangsanaan yang cukup tinggi. Jiwa cinta tanah air dan rela berkorban untuk
membela kedaulatan negara telah tertanam dalam diri rakyat Muna sejak Sugi
Manuru ( 1428 ) Raja Muna VI mengajarkan
falsafa dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang dikenal
dengan falsafa SOWITE ( Cinta Tanah
Air ). Falsafa Sowite tersebut kemudian diuaraikan dalan tiga nilai- nilai dasar
yaitu
1. Hansuru-hansuru bahda Sumano Kono
Hansuru Liwu ( Rela berkorban demi kedaulatan bangsa dan Negara)
2. Hansuru-hansuru Liwu Sumano Kono Hansuru
Adhati ( Walaupun negara hancur Nilai adat harus tetap dipertahankan)
3. Hansuru-hansuru Adhati Sumano Tangka Agama. ( Bila Nilai adat
sudah tidak bisa dipertahankan, maka nilai-nilai agama harus tetap kuat dan
menjadi pedoman )
Ketiga nilai dasar
tersebut wajib diamalkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh
seluruh warga Kerajaan Muna baik dia berada di wilayah Kerajaan Muna maupun
berada diwilayah lain. Kemerdekaan dalam arti yang luas bagi masyarakat Muna
menjadi hal yang mutlak untuk
diperjuangka sehinga kalau ada pihak lain yang mencoba untuk menggangu maka
tidak segan-segan masyaraat Muna akan melawannya..
Kemerdekaan yang
dmaksud warga masyarakat Muna bukanlah saja kemerdekaan pribadinya tetapi lebih
bertitik tolak pada kemerdekaan yang universal dalam hal ini juga termasuk kemerdekaan dan kedaulatan
Kerajaan-kerajaan tetangga. Hal ini telah perlihatkan oleh Raja Muna VII La Kilaponto yang tiddak
segan-segan melawan La Bolontio tokoh bajak laut bermata satu yang telah
memporak porandakan kerajan-kerajaan tetanga Kerajaan Muna seperti Kerajaan
Selayar, Kerajaan Konawe dan Kerajaan Buton. Demi membela keerdekaan dan
kedaulatan Kerajan-Kerajaan tetanganya tersebut, Raja La Kilaponto menyatakan
perang terhadap La Bolontio yang kemudian berhasil di kalahkannya bahkan sampai
membnuhnya disekitar Pantai Boneatiro
Yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Kapontori
Kabupaten Buton.
Tidak sampai disitu,
setelah La Kilaponto berhasil membunuh
La Bolontio, kemudian dilanjutkan
mengejar sisa-sisa pasukannya
yang masih berada di Selayar dan Kerajaan Konawe. Setelah seluruh Pasukan La
Bolontio benar benar habis maka La Kilaponto kemudian melakukan penataan
pemerintahan pada kerajaan-kerajaan tersebut sampai benar-benar stabil. Karena
jasa-jasanya tersebut, maka oleh asyarakat dan tokon adat setempat
menobatkannya sebagai Raja pada kerajaan dimaksud. Olehnya itu La Kilaponto
Raja Muna VII dikenal sebagai Raja yang mepersatukan seluruh Kerajaan-Kerajaan
di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Muna, Kerajaan Buton, Kerajaan Konawe,
Kerajaan Kaledupa dan Kerajaan Kabaena.
Pada Kerajaan-Kerajaan
yang menobatkanya sebagai Raja tersebut, La Kilaponto diberi gelar Kehormatan
seperti di Kerajan Konawe ia dianugrahi Gelar La Tolaki ( Menjadi
Laki-laki/Raja) atau Haluoleo ( Delapan hari ). Dibuton La Kilaponto dianugrahi
gelar Timba-Timbanga ( orang yang menetapkan hukum/orang yang adil) / Sultan
Kaimuddin Khalifaul Khamis/ Murhum. Dua gelar terakhir dianugrahi setelah
beliau berhasil menjadikan Kerajaan Buton menjadi Kesultanan dan La Kilaponto
dinobatkan sebagai Sultan I. Sedangkan di Muna ia digelar dengan Omputon
Mepokonduaghono Ghoera artinya Raja yang menggabungkan wilayah.negara.
Kendatipun La Kilaponto telah di nobatkan
sebagai Raja pada kerajaan-kerajaan yang diselamatkan dari kehancuran tersebut
beliau tidak berusaha untuk menguasainya, bahkan ketika kerajaan-kerajaan
tersebut dianggap telah mampu menjalankan pemerintahannya sendiri maka jabatan
raja pada kerajaan tersebut diserahkan pada yang berhak. Sikap La Kilaponto
tersebut merupakan cerminan dari ajaran yang ditanamkan oleh ayahandanya Raja
Muna VI Sugi manuru yaitu ; “poangka-angka tao, Poadha-adhati,
Popiara-piara dan pobini-biniti kuli” artinya saling tepa selira, saling
menghargai, saling memelihara dan saling tenggang rasa.
Setelah dilantik
menjadi Raja Buton dan menjadikan Kerajaan itu sebagai kesultanan, nilai-nilai
yang dijarkan oleh ayahandanya seperti tersebut diatas kemudian diajarkan dan
disebarluaskan dikerajaan itu. Pada pemerintahan Sultan Buton IV Dayanu
Ikhsanuddin nilai-nilai yang disebarluaskan oleh La Kilaponto tersbut diadopsi
dalam Konstitusi Kesultanan Buton yang dikenal dengan “Martabat Tujuh”. Karena Konstitusi tersebut merupakan konstitusi
KerajaanIslam, maka nilai-nilai dasar tersebut dielaborasi dengan nilai-nila
Islam.
No comments:
Post a Comment
Kami mengundang anda untuk memberikan komentar terhadap artikel yang ada di blog ini termasuk kritikan dan saran dengan syarat tidak menyinggyng masalah suku,agama dan ras tertentu.
Konten dalam komentar bukan menjadi tanggungjawab admin
Salam