Menyelami Makna Syair Orang Wuna
Oleh : Laode Abdul Alim
(Mahasiswa Pascasarjana Ketahanan Nasional UGM)
HP : 085241807163
Ketiadaan ilmu pengetahuan menjadikan manusia tidak sadar melakukan pembangkangan terhadap Allah. Namun kelimpahan ilmu pengetahuan juga tidak menjamin manusia untuk tidak membangkang pada Allah. Dalam hal ini, manusia bodoh membangkang karena ketidakmampuan menemukan hakekat hidup, sementara manusia berilmu justru membangkang karena mengingkari hakikat hidupnya, akibat banyaknya ilmu pengetahuan yang mencocoki akal pikiran mereka tanpa satu alat pengendali, yakni kesadaran akan eksistensi ilmu pengetahuan, sebagai rahmat terbesar manusia yang diberikan Allah untuk memakmurkan bumi dan mensejahterakan sesama manusia. Kondisi tersebut berakibat pada kadar kehancuran yang ditimbulkan manusia pembangkang karena tidak bertemu hakekat hidup, serta pembangkang karena ilmu pengetahuan yang dimiliki. Kehancuran oleh orang yang tidak menemukan hakikat hidup tidak sebesar kehancuran yang disebabkan orang berilmu. Dan fenomena yang seringkali terjadi dalam peradaban manusia, orang-orang berilmu pengetahuan akan memanfaatkan golongan manusia tak berilmu untuk mengumpulkan keuntungan pribadi.Oleh : Laode Abdul Alim
(Mahasiswa Pascasarjana Ketahanan Nasional UGM)
HP : 085241807163
Jauh sebelum ketersesatan manusia karena mengikuti ilmu pengetahuan yang telah dicemari dengan kaidah-kaidah iblis, leluhur orang Wuna yang kini diklaim masih jauh dari pola pikir modern, telah memberikan gambaran bagaimana kondisi sosial anak cucu mereka. Seperti halnya makna tersirat dari salah satu syair berikut ini :
Masangia natipake nipakeno kamokula ini
(artinya : semoga diamalkan amalan orang ini)
Medam panatipake aitu nandomo lalo
(artinya : kalaupun tidak diamalkan itu terserah kemauan hati)
Tama koe ndososo rato namada kaawu
(artinya : namun jangan menyesal pada saatnya nanti)
Dhamani sorumatono, dhamani o kasikola
(artinya : zaman yang akan datang, zaman terpelajar)
Dasipande-pandeham mieno dhunia ini
(artinya : semua penghuni dunia akan pintar)
Anahi bhe kamokula kesenom somandeno
(artinya : anak-anak dan orang tua masing-masing pintar)
Sada sipande-pandeha dhunia nabale ronggamo
(artinya : saat semuanya pintar dunia akan gonjang-ganjing)
Nabharim soniwura, nabharim sonifetingke
(artinya : banyak yang akan dilihat, banyak yang akan didengar)
Anahi hende bughou tadamangka-damangkamo
(artinya : generasi muda akan mengikut sembarang)
Damangkafi powurando, damangkafi pofetingkendo
(artinya : mengikut apa yang dilihat, mengikut apa yang didengarkan)
Nipakeno kamokula paem natikona hae
(artinya : amalan orang tua terdahulu tidak akan dipedulikan lagi)
Amano bhe anano dapogai nsoririmo
(artinya : ayah dan anak saling membelakangi)
Isano bhe aino dapogati kundomo
(artinya : kakak dan adik saling bertolak belakang)
Pae amangka ihintu apandemo dua
(artinya : saya tidak mengikutimu, saya juga sudah pintar)
Menurut informan yang pernah diajak berdiskusi oleh penulis, syair ini diciptakan oleh Muhammad Saadidun pada tahun 1931, dan mulai saat itu turun temurun dijadikan pedoman dalam melihat fenomena perjalanan bangsa dan negara bahkan dunia hingga kini. Secara akademis, makna dari bait-bait syair di atas tidak dapat dipungkiri kebenarannya saat ini, terlebih pasca reformasi digulirkan dan demokrasi diagungkan-agungkan melebihi agama. Semua orang bersuara atas nama kebebasan dalam bingkai hak asasi manusia. Sayangnya, kebebasan yang di agung-agungkan itu ternyata kebebasan tanpa batas dan memberi ruang tak terhingga pada siapapun untuk berbuat apapun. Demikian kebebasan yang dilandasi ilmu pengetahuan manusia yang telah disesatkan iblis menjadi penyebab keruntuhan sifat serta prilaku sosial manusia. Antara anak dan orang tua saling berselisih hanya karena perbedaan dukungan atas salah satu figur calon pemimpin politik tertentu. Si adik dan si kakak terpaksa bermusuhan satu sama lain karena alasan ekonomi maupun politik. Semuanya bersikukuh mengaku lebih tahu akan semua hal meskipun sebenarnya itu sedikit atau tidak sama sekali selain kebohongan.
Di pihak lain, kewibawaan pemerintah dan agama semakin pudar di mata rakyat serta manusia pada umumnya. Pada kondisi seperti ini, ketersesatan manusia ke jalan iblis akibat ilmu pengetahuan manusia itu sendiri semakin terbuka lebar. Pemerintah yang seharusnya berkewajiban membuat regulasi berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan serta kemanusiaan, akhirnya melahirkan produk-produk hukum yang mengajak manusia untuk membangkang kepada Allah. Hasilnya korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela sebagai salah satu ciri hawa nafsu para penguasa sejak zaman era prasejarah hingga abad modern. Di kalangan rakyat jelata, berkembang nafsu tidak beradab dalam wujud pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, serta berbagai tindak kriminalitas kasat mata lainnya. Baik penguasa korup, kolutif dan nepotis sebagai bentuk kejahatan halus maupun prilaku barbarisme di kalangan rakyat jelata, keduanya merupakan bentuk pembangkangan manusia terhadap Allah.
Namun satu hal yang penulis ingin garis bawahi terkait prilaku kejahatan penguasa dan rakyat jelata adalah, nafsu hewaniah rakyat jelata muncul akibat kegagalan pemerintah menciptakan suasana nyaman untuk rakyat. Nafsu hewaniah kaum jelata berbanding lurus dengan nafsu para pejabat pemerintah yang menuhankan harta, jabatan dan kepuasan seksual. Sederhananya, pemerintah pasti bisa memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya bila mampu menanggulangi prilaku korupsi, kolusi dan nepotisme para pejabat pemerintahan. Namun keadaan sekarang semakin tidak terkendali seiring meningkatnya harga kebutuhan hidup yang berpadanan dengan tingkat kewibawaan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Korupsi, kolusi dan nepotisme semakin sulit diberantas karena prilaku rakyat seolah telah berubah, dengan melegitimasi KKN sebagai salah satu kewajaran. Dalam penerimaan pegawai negeri sipil, misalnya, pejabat pemerintah aliran makelar PNS tidak perlu bersusah-bersusah lagi mencari mangsa calon PNS karena masyarakat sendiri akan mencari para makelar tersebut, lalu membayar uang berapapun asalkan lulus menjadi PNS.
Perselingkungan para makelar dan calon PNS tersebut akhirnya berujung pada menguatnya virus KKN yang terus berputar dalam roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaimana tidak, biaya (cost) yang mahal ketika mendaftar menjadi pegawai negeri sipil, kemudian akan menyebabkan seseorang mencari pengembalian modal ketika lulus PNS, dengan memanfaatkan jabatan untuk melakukan korupsi, kolusi maupun nepotisme. Selain PNS, biaya mahal juga harus dikeluarkan para calon anggota legislatif, kepala daerah ataupun presiden ketika mengikuti pemilihan umum sebagai syarat utama terlibat dalam kancah demokrasi. Miliayaran bahkan triliunan rupiah harus dikeluarkan para politisi, mulai dari membayar pintu di salah satu partai hingga berakhir pada pembayaran massa saat kampanye dan menjelang pemilihan umum atau lebih dikenal dengan istilah ‘serangan fajar’. Sama seperti halnya calon PNS yang kemudian lulus dan menjabat, para politisi pun akan bertindak mencari pengembalian modal selama pemilihan umum melalui KKN. Demikian siklus tersebut akan kembali berulang pada generasi berikutnya dan seterusnya.
Memang, bila kita menggunakan rumus hidup kaum Machiavelian yang mengesahkan apapun tindakan manusia demi meraih tujuan hidupnya, segala macam cara bisa dilakukan bahkan termasuk membunuh. Namun perlu diingat, konsep manusia sebagai makhluk sosial menuntut setiap orang terlibat secara aktif dalam kegiatan saling memberi dan menerima kepada sesama manusia dan alam semesta. Masing-masing telah ditakar oleh Allah berdasarkan kadar keikhlasan berusaha tiap-tiap manusia. Berangkat dari konsep berpikir tersebut, maka Sangat tidak adil rasanya bila ada golongan manusia yang tega merampas lahan rezeki orang yang sudah ikhlas bekerja keras untuk menghidupi diri beserta keluarganya. Prilaku tega ini hanya dimiliki oleh golongan manusia bermental koruptif, kolutif dan nepotis.
Di kalangan pejabat politis dan birokrasi sengaja memelihar hubungan gelap dengan para pengusaha kapitalis sebagai sumber pengembalian modal ketika mendaftar menjadi pegawai negeri sipil mapun pejabat politik di pemerintahan. Berbagai peraturan perundangan-undangan ditelorkan atas dasar melindungi kepentingan korporasi. Kawasan hutan yang menjadi tempat bermukim satu komunitas masyarakat adat dijual secara diam-diam kepada pengusaha swasta. Pemukiman-pemukiman kumuh digusur dengan alasan ketertiban kawasan, setelah itu dijual kepada pengusaha untuk kemudian dibangun pusat-pusat perbelanjaan modern maupun kompleks perumahan elit. Selanjutnya yang terjadi adalah konflik antara masyarakat dan pekerja perusahaan yang tidak tahu apa-apa. Saat konflik terjadi, pemerintah melalui dalih menciptakan ketertiban di masyarakat kemudian mengerahkan satuan-satuan keamanan, baik Polisi Pamong Praja ataupun personil Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Akhirnya aparat keamanan terlibat bentrokan fisik dengan masyarakat yang seharusnya dilindungi. Mekanisme seperti ini sudah lumrah terjadi pada negara miskin yang memaksakan menganut paham demokrasi.***
No comments:
Post a Comment
Kami mengundang anda untuk memberikan komentar terhadap artikel yang ada di blog ini termasuk kritikan dan saran dengan syarat tidak menyinggyng masalah suku,agama dan ras tertentu.
Konten dalam komentar bukan menjadi tanggungjawab admin
Salam