SYARIFUDDIN UDU SOLUSI UNTUK MUNA 2020-2025

SYARIFUDDIN UDU SOLUSI UNTUK MUNA 2020-2025

14 March 2011

KAWIN MAWIN MENURUT ADAT MUNA

Perkawinan dalam masyarakat Muna sangat unik yang berbeda dengan Suku Lainnya di Indonesia. Sistem perkawinan ini telah ada semenjak dahulu kala sebelum masuknya agama Islam di Muna. Setelah datangnya Islam dan diterimanya agama ini oleh seluruh rakyat Muna, sistem perkawinan yang dahulunya tetap tidak berubah terutama yang berhubungan dengan masalah mahar (mas kawin). Yang berubah hanyalah proses ijab kabul-nya saja yang mengikuti ajaran Islam sebagai perkawinan dalam Islam.

Pada suatu ketika salah seorang Cucu Raja La Ode Husein (La Ode Husein bergelar Omputo Sangia) yang bernama Wa Ode Kadingke (Putri La Ode Zainal Abidin yang menjadi Kapitalau Lasehao, mungkin semacam Adipati di Jawa) menikah dengan orang Asing (Suku Bugis). Perkawinan tersebut ditantang keras oleh Raja Muna yang saat itu bernama La Ode Sumaili yang tidak lain adalah saudara sepupu Wa Ode Kadingke. Alasan Raja menentang perkawinan tersebut adalah bertentangan dengan syariat Islam. Akan tetapi Wa Ode Kadingke yang tidak lain adalah cucu Raja, tidak menerima hal itu dan mengatakan kepada Raja La Ode Sumaili bahwa perkawinan dalam Islam yang dilihat hanyalah pada sisi ketakwaannya dalam arti seiman dalam Islam dan perkawinan tersebut tetap dilanjutkan sebab Wa Ode Kadingke juga mendapat restu sekaligus dukungan dari Sultan Buton.

Karena Raja menentang terus perkawinan tersebut, maka Wa Ode Kadingke menyatakan bahwa La Ode Sumaili harus diperangi, yang pada akhirnya perang tidak dapat dielakkan. Perang pun terjadi dan pasukan Wa Ode Kadingke yang dibantu oleh pasukan bantuan dari Kesultanan Buton mengalahkan La Ode Sumaili. Dari kekalahan ini, La Ode Sumaili ditangkap dan diberi hukuman cambuk sampai mati sehinngga setelah wafat diberi gelar Omputo Ni Sombo (Raja yang dihukum cambuk).

Dengan wafatnya Raja, maka Dewan Sara Muna (semacam DPR di negara kita sekarang ini) memutuskan mengangkat Anak Wa Ode Kadingke dengan Daeng Marewa yang bernama La Ode Saete menjadi Raja Muna namun karena masih kecil (kanak-kanak) maka diputuskan bahwa yang memangka Jabatan Raja sementara adalah Bonto Balano (Perdana Menteri) dan jika raja telah dewasa, maka Jabatan raja secara otomatis akan diberikan kepada La Ode Saete.

Raja La Ode Sumaili menentang perkawinan karena menurutnya bertentangan dengan syariat Islam, padahal sebenarnya Raja tahu bahwa jika telah seiman sebenarnya perkawinan tetap dapat dilangsukan. Namun banyak kalangan menduga bahwa pertentangan antara Raja La Ode Sumaili dengan Wa Ode Kadingke adalah masalah adat saja sebab kemungkinan saat itu adat perkawinan dalam masyarakat muna belum mengatur perkawinan dengan suku asing.

Walaupun penulis tidak tahu secara pasti, akan tetapi menurut cerita orang tua, Dewan Sara mengadakan sidang adat muna di mana ketetapan tersebut berlaku hingga sekarang.

Dalam masyarakat Muna mengenal juga sistem stratifikasi sosial sebagai mana dalam Agama Hindu. Sistem Stratifikasi tersebut ditetapkan pada masa Raja Sugi Manuru (Raja Muna VI ayah dari La Kila Ponto yang pernah menjadi Raja Konawe, lalu Raja Muna dan menjadi Sultan Buton). Raja Sugi Manuru adalah sang raja besar yang sering melakukan perjalanan ke kerajaan-kerajaan tetangga misalnya Buton, Konawe, bahkan sampai ke Ternate. Dalam kunjungannya ke Ternate, Raja Sugi Manuru kawin dengan putri Raja ternate dan hasil perkawinanya ini dkaruniahi seorang putri yang bernama Welanda. Kemungkinan Raja Ternate saat itu adalah Ayah Raja Hairun sebelum masuk Islam.

Begitu banyaknya keturunan raja, maka Raja Sugi Manuru mulai membagi keturunannya menjadi 4 golongan, yaitu:
  1. Golongan pemerintah atau yang menguasai pemerintahan diberi nama Golongan Kaomu. Golongan adalah mereka yang berhak menjadi Raja, Kapitalau (semacam Adipati di Jawa) atau jabatan lainnya yang menyangkut eksekutif.
  2. Golongan adat yang diberi nama Golongan Walaka (Biasanya juga dinamakan golongan Sara). Golongan ini adalah mereka yang berhak menjadi Perdana menteri, mengatur adat, menetapkan hukum bersama Raja, memilih dan mengangkat raja bahkan berhak mencopot raja dari jabatannya jika dianggap melanggar hukum negara dan adat serta agama. Saat itu Raja bukan Jabatan turun-temurun tetapi dipilih oleh Dewan Sara (secaman DPR). Begitu juga di Kesultanan Buton raja dipilih oleh Dewan Sara Buton.
  3. Golongan yang menguasai perdagangan, diberi nama golongan Anangkolaki.
  4. Golongan yang keempat adalah golongan Maradika
Penggolongan ini tatap berlangsung walaupun setelah datangnya agama Islam bahkan sampai sekarang ini.

Penulis berhasil mengumpulkan dari berbagai sumber lisan yakni para orang tua bahwa sistem/adat dalam perkawinan masyarakat muna terutama mengenai maharnya adalah sebagai berikut:
  1. Jika golongan Kaomu (La Ode) menikahi golongan Kaomu (Wa Ode) atau golongan di bawahnya, maharnya senilai 20 Boka (Saat ini 1 Boka senilai Rp 24.000,-).
  2. Jika golongan Walaka menikahi Golongan Kaomu, maka maharnya senilai 35 Boka. Akan tetapi jika menikahi golongan Walaka juga, maharnya adalah 10 Boka 10 Suku (1 Suku senilai 0,25 boka, jadi 10 boka 10 suku sekitar 12,5 boka). Akan tetapi jika golongan Sara-Kaomu maharnya adalah 15 Boka. Golongan sara kaomu (Perempuan Sara-Kaomu) artinya Ayahnya Golongan Walaka dan Ibunya Golongan Kaomu.
  3. Jila golongan Anangkolaki menikahi golongan Kaomu, maka maharnya adalah 75 boka. Jika menikahi golongan Walaka, maharnya adalah 35 Boka. Akan tetapi jika menikahi golongan anangkolaki juga atau di bawahnya, maharnya adalah 7 boka 2 suku (atau 7,5 boka).
  4. Jika golongan Maradika menikahi golongan Kaomu maharnya adalah 2 x 75 Boka, jika menikahi golongan Walaka maharnya adalah 75 bola, jika menikahi golongan Anangkolaki maharnya 7 boka 2 suku (7,5 boka)

Selaian keempat golongan di atas, dalam adat muna juga mengatur perkawinan antara orang asing dengan orang muna, yakni sebagai berikut:
  1. Jika orang asing menikahi golongan Kaomu maka maharnya adalah 130 boka. Keturunannya sebagai Golongan Kaomu, dan jika seorang laki-laki berhak dipilih menjadi Raja begitu pula di Buton.
  2. Jika orang asing menikahi golongan Walaka maka maharnya adalah 80 boka. Keturunannya sebagai golongan Walaka.
  3. Jika orang asing menikahi golongan Anangkolaki atau Maradika, penulis belum mendapatkan informasinya akan tetapi di bawah 80 boka.

Yang dikatakan orang asing adalah suku-suku lain di Indonesia atau negara asing kecuali Suku Buton (untuk suku buton sistem adatnya sama dengan muna maka Buton tidak dianggap sebagai suku asing).

Prosesi adat biasanya dilangsungkan sebelum Ijab-Kabul, sebab jika prosesi adat belum dapat dilakukan atau belum mendapat titik temu, maka proses Ijab-Kabul belum dapat dilangsungkan. Dalam prosesi adat biasanya dihadiri oleh toko-toko adat yang mengetahui silsilah keturunan baik si Laki-laki maupun si Perempuan. Prosesnya secara transparan dan demokratis.

No comments:

Post a Comment

Kami mengundang anda untuk memberikan komentar terhadap artikel yang ada di blog ini termasuk kritikan dan saran dengan syarat tidak menyinggyng masalah suku,agama dan ras tertentu.
Konten dalam komentar bukan menjadi tanggungjawab admin
Salam

Baca juga :

Korte Verklering Antara Belanda dan Buton 8 April 1906

Berikut kami postkan Korte Verklering tanggal 8 April 1906 yang ditanda tangani oleh  Sultan Buton Muhammad Asyikin dan perwakilan Pem...