Oleh: Laode Abadi Rere – Pemerhati Budaya
Kelompok manusia yang hidup di suatu tempat tertentu dan menunjuk seorang menjadi pemimpin mereka yang disebut Raja, itulah awal dari kepemimpinan. Tempat mereka menetap disebut Kerajaan dan kelompok manusia dalam kerajaan tersebut adalah Rakyat. Sedangkan rakyat yang mendiami wilayah tertentu dengan batas-batas negara yang sudah disepakati, menduduki wilayah tersebut disebut Penduduk.
Kelompok manusia yang hidup di suatu tempat tertentu dan menunjuk seorang menjadi pemimpin mereka yang disebut Raja, itulah awal dari kepemimpinan. Tempat mereka menetap disebut Kerajaan dan kelompok manusia dalam kerajaan tersebut adalah Rakyat. Sedangkan rakyat yang mendiami wilayah tertentu dengan batas-batas negara yang sudah disepakati, menduduki wilayah tersebut disebut Penduduk.
Adapun unsur-unsur yang harus dimiliki oleh masyarakat politik supaya ia dapat dianggap sebagai Negara termasuk Negara Kerajaan kemudian berlanjut membentuk sistem Ketatanegaraan. Menurut Oppenheim Lauterpacht, seperti yang dikutip Solly Lubis Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dalam bukunya Ilmu Negara, mengatakan bahwa pertama adalah keharusan pada rakyat. Dengan demikian ide atau cita-cita untuk bersatu, adalah penting untuk dapat membentuk suatu bangsa yang akan hidup dalam suatu negara dengan identitas yang sama. Rakyat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu ini merupakan unsur dari negara.
Rakyat atau penduduk jika mempunyai identitas yang sama secara geografis-ekolologis dan demografis serta faktor historis, politik sosial,budaya,bahasa yang sama kemudian menjadi suku bangsa yang sama. Selanjutnya rakyat dapat membentuk Negara dengan Ketatanegaraan dan kemudian penduduknya disebut Warga Negara.
Persyaratan tersebut di atas jika dikaitkan dengan eksistensi rakyat Muna, menurut J. Couvreur dalam bukunya tentang Etnografisch Overzicht van Moena terjemahan Rene van den Berg dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna, bahwa asal usul rakyat pulau Muna disuguhkan dua cerita yaitu cerita pertama : Dikisahkan bahwa Nabi Muhammad yang pertama kali menemukan pulau Buton dan pulau Muna. Kedua pulau tersebut baru saja muncul dari permukaan laut serta masih merupakan rawa-rawa berlumpur yang belum dapat ditumbuhi atau dihuni oleh apapun juga. Setelah menemukan pulau ini, Nabi Muhammad kembali kepada Allah memberitahukan apa yang telah dilihatnya, kemudian Nabimenambahkan bilamana allah menghendaki tanah-tanah tersebut dikeringkan kira-kira akan terdapat daratan yang akan sama dengan Tanah Rum (Turki atau Eropa). Allah lalu bertanya kepada Nabi Muhammad, dimana Nabi Muhammad melihat daratan tersebut? Jawaban Nabi Muhammad, “Di bawah daratan Turki (atau Eropa)” (dalam bahasa Muna we ghowano witeno Rumu). Allah kemudian bertanya kepada Nabi Muhammad, “Nama apa yang harus diberikan kepada tanah itu?” Nabi Muhammad menjawab, “ Butuuni “ (arti nama itu tidak diketahui). Allah lalu membuat daratan tersebut. Menurut tradisi ini orang pertama yang menetap disini adalah keturunan roh-roh.
Cerita yang ke dua, dikisahkan bahwa dahulu kala ditempat ini semuanya digenangi air. Pada suatu hari berlayarlah di laut ini sebuah perahu, di dalamnya berada seorang lelaki yang bernama “Sawirigadi” (Sawerigading). Perahu tersebut terbentur pada batu karang di bawah permukaan air lalu terdampar. Sawerigading adalah putra Raja Luwu, dan dia dilahirkan ibunya bersama dengan seekor ayam kuning sehingga dianggap sebagai orang mulia. Karena terbenturnya perahu tersebut pada ujung batu karang di bawah permukaan air itu, maka dengan tiba-tiba muncullah daratan besar dari permukaan laut, yaitu pulau Muna sekarang ini. (Perlu dicatat bahwa gunung tempat terdamparnya perahu Sawerigading itu masih dapat ditunjukkan. Nama gunung itu sampai sekarang terdapat sebuah batu besar yang menyerupai perahu)Setelah terdampar perahunya, berjalanlah Sawerigading di atas daratan yang baru muncul itu sampai pada Wisenokontu artinya didepan batu (disekitar kampung Tanjung Batu sekarang). Setelah itu Raja luwu mengutus beberapa orang untuk pergi mencari perahu Sawerigading dan sebagian dari orang-orang ini konon menetap disini dan merupakan penghuni pertama pulau Muna dan kemudian mereka mendirikan suatu koloni yang mereka namakan Wamelai. ( Arti nama ini tidak lagi deketahui), namun sampai sekarang nama ini menjadi kampung Wamelai dan hingga sekarang masih ada di Muna, akan tetapi kini merupakan bagian dari kampung Tongkuno. Mata pencaharian mereka berburu dan sebagian kecil bertani.
Setelah beberapa lama mereka menetap disini, maka sebagian dari orang yang terdiri atas laki-laki itu kembali ke tempat asal mereka untuk mengambil istri-istri dan anak-anak mereka yang tertinggal di sana untuk dibawah ke Muna dan sekembalinya mereka, maka atas musyawarah bersama lalu ditunjuklah seorang kepala yang diberi gelar “mino Wamelai”. (Orang Wamelai)
Demikian juga dikatakan oleh Oppenheim Lauterpacht, bahwa yang dimaksud dengan rakyat adalah kumpulan manusia dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama merupakan suatu masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang berlainan atau memiliki warna kulit yang berlainan dan jika hal ini dikaitkan dengan peristiwa asal usul mulanya penduduk Muna sebagaimana dijelaskan oleh J.Couvreur di atas, maka jelas rakyat Muna pertama yang mendiami Pulau Muna adalah orang WamelaiKedua, keharusan ada daerah. Faktor ini terkait dengan faktor identitas suatu suku bangsa yaitu mengenai faktor geografis-ekologis dan demografis,biasanya disebut Faktor Obyektif. Untuk menentukan terbentuknya suatu negara terdapat beberapa teori tentang negara, antara lain seorang iIlmuwan terkenal Plato mengatakan bahwa luas negara itu harus diukur atau disesuaikan dengan dapat atau tidaknya, mampu atau tidaknya negara memelihara kesatuan di dalam negara itu, oleh karena negara itu sebetulnya pada hakekatnya merupakan suatu keluarga yang besar. Oleh sebab itu negara tidak boleh mempunyai luas daerah yang tidak tertentu.
Faktor Subyektif mengenai persyaratan tersebut, yaitu faktor historis, politik, sosial, budaya dan bahasa, jika dikaitkan dengan wilayah Penduduk Muna ditinjau dari segi bahasa yang digunakan, maka daerah Muna cukup luas meliputi sebagian besar wilayah Penduduk Buton, hal ini dapat dibuktikan dari bahasa daerah yang digunakan masyarakat wilayah Muna juga digunakan oleh sebagian besar masyarakat Buton namun dialeknya yang berbeda, sehingga sebagian besar masyarakat Buton sebenarnya masuk Suku Muna karena bahasa asli Buton hanya digunakan oleh masyarakat yang berdiam disekitar kota Bau-bau dan wilayah Keraton dan selebihnya mengunakan bahasa Muna.
Awal pembentukan wilayah didasarkan kesepakatan antara dua negara atau lebih, dan bahasa merupakan salah satu unsur terbentuknya bangsa, maka antara Muna dan Buton telah bersepakat menentukan batas-batas wilayah, yaitu wilayah Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara merupakan Daerah Muna, sedangkan bagian Selatan Pulau Muna merupakan wilayah Buton.
Ketiga, keharusan ada Pemerintahan yang berdaulat. Jika hal ini dikaitkan dengan eksistensi kerajaan Muna, maka penunjukan Ibu Kota Kerajaan Muna di Kota Muna pada Tahun 1321, Pembangunan Benteng Pertahanan, Pembangunan Istana Kerajaan atau Kamali, Pembangunan Rumah para pejabat Kerajaan dan Pembangunan Mesjid Besar di Kota Muna atas persetujuan Syarah Muna, menunjukkan bahwa aktivitas pemerintahan kerajaan Muna terpusat di Kota Muna, letaknya sekitar 23 Kilometer dari Kota Raha sekarang. Dan menurut J.Couvreur benteng dikota Muna dibangun oleh roh-roh halus, dan terbuat dari tembok batu setinggi empat meter, dengan ketebalan tiga meter dan panjang keseluruhan tembok sekitar 8.073 meter.
Namun setelah Raja Muna Laode Ahmad Makutubu Istana Kerajaan Muna atau Kamali dibangun di Kota Raha yaitu di Tula atas persetujuan Syarat Muna dan disebut Kamali Panda. Dan Raja Muna Laode Fiu M.Shalihi membangun Kamali di Loghiadan yang sekarang ke dua kamali ini dikelola oleh Laode Shalihi mantan Kepala Distrik Katobu, anak dari Raja Muna Laode Fiu. M.Shalihi. Selain kedua Kamali tersebut di atas, Raja Muna Laode Fiu membangun Kamali di Masalili.
Pada Tahun 1928 Raja Muna Laode Rere membangun Istana atau KamaliWamelai, letaknya sekarang iniberdiri bangunan gedung pertemuan Wamelai atau persisnya di depan kantor Camat Katobu bagian atas. Bangunan Kamali ini dibangun oleh ahli pertukangan dari Buton dengan tiang bangunan (katubo) sebanyak 99 katubo, ruang pertemuan, ruang istrahat Raja, ruang keluarga. Bersamaan pembangunan Kamali Wamelai selesai, Raja Muna Laode Rere diberhentikan oleh Pemerintah Penjajahan Belanda. Selanjutnya Raja Muna Laode Rere tidak berniat lagi untuk menempati Kamali tersebut karena Kamali adalah milik Syarah Muna, meskipun Syarah Muna ketika itu menyarankan kepada Laode Rere agar Kamali yang dibangun tersebut tetap ditinggali, namun Raja Muna Laode Rere tidak bersedia.
Padahal saat itu Laode Rere tidak mempunyai rumah dan terpaksa Laode Rere membongkar Kamali yang pernah ditempati Saudara sepupunya yaitu Raja Muna Ahmad Makutubu dan memindahkan ke tanah yang dibeli dari La Kalende letaknya di depan penjara atau sekarang didepan rumah jabatan Rumah Tahanan (Rutan) Raha, yaitu di jalan Basuki Rahmat No.16.Syarah Muna mendengar bahwa Kamali Tula dibongkar dan dipindahkan kedepan Penjara, segera menemui Laode Rere dan meminta agar rumah yang sedang dibangundi depan Penjara atau sekarang di depan Rutan Raha juga dijadikan Kamali. Istana atau kamali bukan asal bangunan akan tetapi rumah raja yang dibangun atas persetujuan Syarat Muna atau dalam bahasa Muna Dofongkorae Syarah, dan jumlah Kamali yang dibangun atas persetujuan Syarah ada tiga buah yaitu di Kota Muna, di Kota Raha ada dua yaitu Kamali Panda dan Kamali Wamelai.
Rumah Raja Muna Laode Rere didepan Rutan sekarang masih berdiri, jika dilihat dari sejarahnya merupakan Kamali karena Dofongkorae Syarah Muna, namun sudah hampir roboh. Padahal panjang rumah tersebut awalnya lebih kurang seratus meter kebelakang dengan bentuk sama dengan Kamali Panda La Ende, namun Kamali ini dibongkar untuk perubahan bentuk oleh keponakannya yaitu almarhum Laode Walanda, namun tidak selesai dan sekarang tinggal sisa sebagaimana dapat dilihat persis berhadapan dengan rumah jabatan Rutan Raha.
Demikian pula Kamali Wamelai yang dibangun oleh Raja Muna Laode Rere dibongkar oleh cucunya, yaitu Laode Kaimuddin Bupati Muna saat itu dan merubah dengan mengganti gedung yang digunakan untuk pertemuan sekarang dengan tetap menggunakan nama Wamelai. Padahal Istana Raja Muna tersebut sebelum dirobohkan sekitar Tahun 1980 an pernah ditempati kantor Polres Muna dan masih terlihat bentuk bangunan dengan 99 tiang atau 99 katubo yang menggambarkan 99 sifat-sifat Allah SWT yang terdapat dalam kitab suci Al – Qur ’an.
Silsilah Dinasti Kerajaan Muna, yaitu dimulai dari Raja Muna pertama sampai Raja Muna terakhir adalah sebagai berikut: pertama La Eli atau Baidulzaman gelar Betheno Ne Tombula, memerintah Tahun 1321-1350, kedua La Aka atau Sugimpatola gelar Kagua Bangkano Fotu, memerintah Tahun 1350-1365, ketiga Sugimpatani, memerintah Tahun 1365-1415, keempat Lambona (Sugiambona) memerintah Tahun 1415-1444, kelima Sugi La Ende memerintah Tahun 1444-1479, keenam Sugimanuru memerintah Tahun 1479-1527, ketujuh Lakilapontoh memerintah Tahun 1527-1530 juga merangkap Raja Wolio ke-6/Sultan Buton I, kedelapan Raja Laposaso memerintah Tahun 1532-1555, kesembilan Rampai Somba memerintah Tahun 1555-1600, kesepuluh Titakono memerintah Tahun 1600-1625, kesebelas Laode Saaludin memerintah Tahun 1625-1626, keduabelas Laode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea memerintah Tahun 1926-1667, ketigabelas Laode Abdurachman gelar Sangia La Tugho memerintah Tahun 1671-1716, keempatbelas Laode Husain gelar Omputo Sangia memerintah Tahun 1716-1767, kelimabelas Laode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo Kamukula, keenambelas Laode Umara, ketujuhbelas Laode Harisi gelar Omputo Negege, kedelapanbelas Laode Mursali gelar Sangia Gola, kesembilanbelas Laode Sumaili gelar Omputo Nesombo, keduapuluh Laode Saete memerintah tahun 1816-1830, keduapuluh satu Laode BulaEng gelar Sangia Laghada memerintah Tahun 1830-1861, keduapuluh dua Laode Ahmad Makutubu gelar Milano Tekaleleha Tula memerintah Tahun 1907-1914, keduapuluh tiga Laode Fiu M.Saiful Anami memerintah Tahun 1919-1922 dan terakhir adalah Raja Muna keduapuluh empat Laode Rere gelar Arowuna memerintah Tahun 1925-1928.
Pada Tahun 1767 sampai 1800 di Pemerintahan Kerajaan Muna terdapat pengangkatan Raja berasal dari luar Dinasti Kerajaan Muna, dan Raja Muna dimaksud dengan sebutan Raja Pengganti atau Pelaksana Tugas Raja dan di Kerajaan Muna di sebut Solewata Raja karena mereka tidak diangkat oleh Syarah Muna, akan tetapi langsung ditunjuk oleh Belanda dan bekerja sama dengan Sultan Buton, antara lain yaitu pertama Laode Tumawo, jabatan Kapitalao Lakologou di Buton, kedua Laode Ngkumabusi, putra kino Lolibu di Buton, ketiga Laode Malei, putra pejabat tinggi di Buton, keempat Laode Sa Aduddin, Kelima Waode Wakelu.
Pengangkatan Raja Muna tanpa persetujuan Syarah Muna tentu mendapat penolakan dari Rakyat Muna, namun karena intervensi dari Belanda maka Syarah Muna tidak berdaya dan karena dianggap Syarah Muna sebagai penghalang pengangkatan Raja Muna oleh Belanda, akhirnya pada Tahun 1910 Belanda membubarkan Syarah Muna. Meskipun Syarah Muna telah dibubarkan Belanda, namun secara devakto tetap berfungsi sebagai Lembaga Adat Muna dan sebagai bukti sejarah yaitu pengangkatan Laode Dika sebagai Lakina Muna oleh Pemerintahan Belanda,namun oleh Syarah Muna tetap mengangkat Laode Dika sebagai Raja Muna.
Menurut Sejarah Muna Laode Dika merupakan Raja Muna terakhir yang diangkat oleh Syarah Muna. Konsekwensi logis bila pengangkatan Raja Muna tanpa persetujuan Syarah Muna, maka segala akibat dari keputusannya tidak akan berlaku bagi masyarakat Munaatau ditolak rakyat Muna.
Berdasarkan uraian diatas, secara ketatanegaraan Kerajaan Muna adalah Kerajaan yang berdaulat artinya kekuasaan tertinggi berada ditanganPemerintahan Kerajaan Muna. Namun DR.Ir. Mujur Muif AM,MSc menulis buku dengan judul UU Martabat Tujuh, Sumber Filosofis Pancasila sebagai Landasan Sistem Demokrasi Ketuhanan Di dalam Pemerintahan Dunia, membuat Silsilah Pemerintahan Kerajaan Muna dan menempatkan Kerajaan Muna sebagai Bharata dalam Kesultanan Buton.Apa yang ditulis oleh Mujur Muif AM tidak sesuai dengan dokumen Sejarah.Suatu hipotesa yang sangat dangkal, tanpa adanya penggalian dan kajian yang mendalam tentang sejarah dan pelaku sajarah.
Sanggahan pertama : Kesultanan Buton sejak Tahun 1887 merupakan bagian atau bharatanya Belanda atau jajahan Pemerintah Belanda (baca dokumen Sejarah Kebudayaan Sultra di Arsip Nasional).Sedangkan Kerajaan Muna adalah kerajaan yang berdaulat sampai Raja yang ke duapuluh empat yaitu Raja La Ode Rere yang bergelar Arowuna yang berkuasa tahun 1925-1928. Raja Laode Rereadalah merupakan dinasti terakhir dari Raja Muna dan Laode Rere adalah Raja Muna yang tidak tunduk kepada Pemerintahan Belanda.
Kedua, J.Couvreur sendiri seorang kebangsaan Belanda yang pernah menjadi Controlir Onderafdeling Muna atau setingkat Bupati pada Pemerintahan Kolonial Belanda pada Tahun 1933 sampai 1935, menulis Buku tentang Sejarah Kebudayaan Munamengatakan, bahwa tidak ada bukti Sejarah kerajaan Muna adalah bagian dari Kesultanan Buton atau Bharatanya Buton.
Ketiga, jika alasannya karena ada orang Buton menjadi Raja di Muna, juga kurang berdasar. Karena Sultan Buton pertama Lakilaponto merangkap Raja Muna VII adalah anak dari Raja Muna VI Sugimanuru, selanjutnya Latumparasi Sultan Buton II juga orang Muna adalah anak dari Lakilaponto dan La Sangaji Sultan Buton III juga orang Muna adalah anak dari Lakilaponto, namun Orang Muna tidak pernah mengatakan bahwa Kesultanan Buton adalah Bharatanya Kerajaan Muna hanya karena alasan penempatan pimpinan pemerintahan yang berasal dari keturunan Kerajaan Muna.
Keempat,Raja Muna Laode Rere pernah bertengkar dengan Sultan Buton Laode Hamidi masalah batas, yaitu di Kusambi Ramba dekat Waniba Lakepera perbatasan Muna dan Buton. Sultan Buton saat itu melontarkan kata-kata memojokan Raja Muna dengan ucapan Muna bharataku. Raja Muna tersinggung dengan ucapan Sultan, sehingga saling menyerang dengan kata-kata dan akhirnya sebelum berpisah mereka bersumpah tentang kebenaran mereka masing-masing. Beberapa tahun kemudian Laode Hamidiwafat karena sakit. Raja Muna berpesan kepada Laode Hadi anak Sultan, bahwa orang Buton dan Muna jangan bermusuhan mengikuti kami orang tua. Dan alhamdullillah antara Laode Badia anak Raja dan Laode Hadi anak Sultan sangat bersahabat dan tidak melihat ada perbedaan antara kerajaan Muna dan Kesultanan Buton sebagaimana ditulis Mujur Muif AM.
Demikian fakta sejarah yang didapat dari dari nara sumber yang faliditasnya tidak diragukan. Semoga menjadi tonggak sejarah penerus suku Muna dan Buton yang memang bersumber dari keturunan yang sama yaitu berasal dari Raja-Raja Muna dan Raja-Raja Buton yang berkuasa di kawasan Kerajaan Muna dan Buton, kemudian dengan datangnya Islam membentuk Kesultanan Buton. Akibat dari penjajahan kolonial Belanda di kawasan ini dengan politik Belanda yang sangat terkenal yaitu devide et empera maka sengaja dibuat perpecahan,perdebatan bahkan pertengkaran antara Muna dan Buton, oleh karena itu kita sebagai penerus, jangan ikuti politik devide et empera dengan membengkokkan sejarah. Marilah kita terima sejarah yang sudah terjadi dan menjadi pelaku sejarah untuk masa datang.www.formuna.wordpress.com
No comments:
Post a Comment
Kami mengundang anda untuk memberikan komentar terhadap artikel yang ada di blog ini termasuk kritikan dan saran dengan syarat tidak menyinggyng masalah suku,agama dan ras tertentu.
Konten dalam komentar bukan menjadi tanggungjawab admin
Salam